Kamis, 13 Desember 2012

materi hijrah nabi dari mekah ke madinah

Lampiran
Materi Sejarah Hijrah Nabi Muhammad SAW ke Mekah

1.      Arti Hijrah dan keteranngannya
Kata hijrah berasal dari bahasa Arab yang berarti meninggalkan suatu perbuatan atau menjauhkan diri dari pergaulan atau berpisah dari suatu tempat ketempat yang lain. Sedangkan hijrahnya nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah merupakan Hijrah (berpindah) dari negeri atau daerah orang-orang kafir atau musyrik kenegeri atau daerah orang-orang muslim. Hijrah juga wajib dilakukan oleh setiap orang Isalm yang berdiam atau tinggal di negeri atau daerah orang-orang kafir atau musyrik, padahal ia tidak kuasa membongkar atau memusnahkan keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan mereka yang nyata-nyata dilarang oleh Allah. Oleh karena itu, kaum muslimin wajib berpindah (berhijrah) ke negeri atau daerah lain yang kirannya dapat jauh daripada keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan yang terkutuk oleh Allah itu.[1]

2.      Hijrah Nabi dan para sahabat dari Makkah ke Madinah
Masyarakat Arab dari berbagai suku setiap tahunnya datang ke Mekkah untuk beziarah ke Bait Allah atau Ka'bah, mereka menjalankan berbagai tradisi  keagamaan dalam kunjungan tersebut. Muhammad melihat ini sebagai peluang untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Di antara mereka yang tertarik dengan ajarannya ialah sekumpulan orang dari Yatsrib. Mereka menemui Muhammad dan beberapa orang yang telah terlebih dahulu memeluk Islam dari Mekkah di suatu tempat bernama Aqabah  secara sembunyi-sembunyi. Setelah menganut Islam, mereka lalu bersumpah untuk melindungi para pemeluk Islam dan Muhammad dari kekejaman penduduk Mekkah.
Tahun berikutnya, sekumpulan masyarakat Islam dari Yatsrib datang lagi ke Mekkah, mereka menemui Muhammad di tempat mereka bertemu sebelumnya. Abbas bin Abdul Muthalib, yaitu pamannya yang saat itu belum menganut Islam, turut hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka mengundang orang-orang Islam Mekkah untuk berhijrah ke Yastrib dikarenakan situasi di Mekkah yang tidak kondusif bagi keamanan para pemeluk Islam. Muhammad akhirnya menerima ajakan tersebut dan memutuskan berhijrah ke Yastrib pada tahun 622 M.
Masjid Nabawi, berlokasi di Madinah, Arab Saudi.
Mengetahui bahwa banyak pemeluk Islam berniat meninggalkan Mekkah, masyarakat jahiliyah Mekkah berusaha mengcegahnya, mereka beranggapan bahwa bila dibiarkan berhijrah ke Yastrib, Muhammad akan mendapat peluang untuk mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah yang jauh lebih luas. Setelah selama kurang lebih dua bulan ia dan pemeluk Islam terlibat dalam peperangan dan serangkaian perjanjian, akhirnya masyarakat Muslim pindah dari Mekkah ke Yastrib, yang kemudian setelah kedatangan rombongan dari Makkah pada tahun 622 dikenal sebagai Madinah atau Madinatun Nabi (kota Nabi).
Di Madinah, pemerintahan (kekhalifahan) Islam diwujudkan di bawah pimpinan Muhammad. Umat Islam bebas beribadah (salat) dan bermasyarakat di Madinah, begitupun kaum minoritas Kristen dan Yahudi. Dalam periode setelah hijrah ke Madinah, Muhammad sering mendapat serangkaian serangan, teror, ancaman pembunuhan dan peperangan yang ia terima dari penguasa Mekkah, akan tetapi semuanya dapat teratasi lebih mudah dengan umat Islam yang saat itu telah bersatu di Madinah.[2]
Pada periode Makkah tahun ke-11 dari kenabian, ada beberapa orang Yastrib datang ke Makkah  dan bertemu dengan Nabi Muhammad SAW. Nabi menyeru mereka untuk masuk Islam, kemudian mereka mempercayai kenabiannya, mengucapka sumpah setia dan menyatakan masuk Islam.
Ada dua kali terjadi sumpah setia (bai’at) antara Nabi dengan orang-orang Yastrib. Sumpah setia pertama (Bai’at al-Aqabah al-Ula) terjadi pada tahun 621 M berisikan pernyataan bahwa orang-orrang Yastrib menerimanya sebagai Nabi dan mematuhi perintahnya serta menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Pada tahun 622 M Nabi kembali bertemu dengan 75 orang dari Madinah. Dalam pertemuan ini Nabi juga membai’at mereka. Kejadian inilah yang menjadi sumpah setia yang kedua (Bai’at al-Aqabah al-Tsaniyah) yang berisikan pernyataan bahwa mereka tidak hanya menerima Muhammad sebagai Nabi dan menjauhi perbuatan dosa, akan tetapi juga sanggup berperang membela Tuhan dan Rasul-Nya.
Disamping itu mereka juga mengajak dan sangat mengharapkan kedatangan Rasulullah kenegeri mereka. Yastib saat itu sangat mengharapkan seorang pemimpin yang bisa diterima oleh berbagai pihak. Hal ini disebabkan karena di Yastrib sedang terjadi permusuhan antara orang Yahudi dengan orang Arab serta antara suku Aus dengan suku Khazraj.
Sekembalinya orang-orang yang di bai’at ke Madinah, makin hari makin banyak penduduk Madinah yang memeluk agama Islam. Tetapi kaum muslimin yang berada di Makkah semakin menderita dan mengalami kesengsaraan dari kaum musyrikin Quraisy. Kaum Quraisy semakin meningkatkan gangguannya pada kaum muslimin semenjak mereka tahu adanya orang-orang dari Madinah yang mendukung misi Rasulullah SAW. Oleh karena itu Allah memerintahkan agar Nabi Muhammad SAW segera pindah/hijrah ke Yastrib/Madinah.
Setelah turun perintah hijrah, maka nabi meninggalkan rumah dan tanah kelahirannya untuk berhijrah ke Madinah bersama Abu Bakar pada tanggal 12 Rabiul Awal/24 September 622 M yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa orang sahabat. Setelah Nabi Muhammad hijrah ke Madinah sampai dengan wafatnya Nabi pada tahun 632 M disebut dengan periode Madinah[3].

3.      Hikmah dari Hijrah Nabi ke Madinah
Pelajaran yang dapat diambil dari Hijrah nabi SAW bahwa Dakwah dan Akidah membutuhkan pengorbanan yang besar sekali. Keduanya memaksa seorang untuk meninggalkan segala apa yang keduanya memaksa seorang untuk meninggalkan segala apa yang disenangi baik, harta, keluarga, kawan maupun tempat kelahiran. Kita telah tahu bahwa kota Mekkah selain sebagai tempat kelahiran Nabi dan para sahabatnya, kota tersebut merupakan kota yang dirindukan oleh setiap orang. Karena dikota itulah Ka’bah berada. Dimana setiap orang pasti menyintainya. Namun demi untuk tegaknya Aqidah dan Dakwah Islamiah terpaksa Nabi dan para sahabat meninggalkan kota Mekkah beserta keluarga yang mereka cintai, diwaktu kota tersebut penduduknya tidak menyenangi Islam.[4]
Point yang cukup penting dalam berhijrah adalah usaha maksimal yang dilakukan. ketika kita sudah bertekad untuk berhijrah, maka sepantasnyalah kita berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menjalankan hijrah itu. Setelah kita telah berusaha dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan membantu kita dalam menjalani hijrah kita. Contoh nyatanya terdapat pada hijrah Nabi Muhammad bersama Abu Bakar dari Mekkah ke Madinah. Seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, hijrah Nabi SAW dilaksanakan dengan perencanaan yang matang serta usaha yang maksimal. Ketika dikejar kaum kafir, Nabi SAW bersama Abu Bakar terpaksa bersembunyi di dalam gua. Saat itu, keadaan mereka sungguh terjepit dan tidak ada usaha lain yang dapat dilakukan selain bersembunyi. Di dalam gua, Abu Bakar menangis karena khawatir akan keselamatan Nabi yang terancam. Namun, tidak ada hal lain yang perlu ditakutkan karena Nabi telah berusaha dan bertawakkal kepada Allah. Tanpa diduga, seekor laba-laba membuat sarang dengan cepat di pintu masuk gua. Inilah pertolongan Allah bagi hamba-hambaNya yang telah berusaha. Adanya sarang laba-laba di pintu masuk gua akan mengelabui orang yang datang bahwasanya tidak mungkin ada orang di dalam gua. Pertolongan-pertolongan gaib semacam ini akan muncul jika kita memang telah berusaha secara sungguh-sungguh dalam berhijrah[5].
Perlu kita sadari pula, bahwa keberhasilan kita dalam berhijrah ditentukan pula oleh seberapa sesuainya diri kita kepada sistem hijrah yang kita jalani. Misalnya, ketika kita berhijrah untuk rajin solat. Kita akan berhasil apabila kita melaksanakan sistem hijrah itu dengan baik. Sistem yang berlaku pada kasus ini adalah seberapa patuhnya kita untuk tetap melaksanakan solat. Jika dalam menjalani hijrah kita masih saja “mencuri-curi”untuk tidak solat, artinya kita telah melanggar sistem hijrah yang ada. Tentunya, hasilnya pun akan percuma. Wallahua’alm.



[1] K. H. Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, (Jakarta : Gema Insani, 2001), Hal. 122-123
[2] file:///K:/Muhammad.htm, diunduh pada hari sabtu, 20 Oktober 2012 jam 11:58.
[3] file:///K:/rpp%20hijrah%20nabi%20muhammad.html, di unduh pada hari Sabtu, 20 Oktober 2012, jam 11:35.
[4] Abul Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah SAW, (Surabaya : Bina Ilmu, 1989), Hal. 143.
[5] file:///K:/MAKNA%20HIJRAH%20%C2%AB%20Muhammad%20chandra%27s%20Blog.htm, diunduh pada hari Sabtu, 20 Oktober 2012 jam 11:56.

materi hutang piutang

LAMPIRAN
MATERI HUTANG PIUTANG
A.    PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:
Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya.
Al-qardh (jamaknya: al-qiradh) utang piutang adalah penyerahan harta berupa uang untuk dikembalikan  pada waktunya dengan nilai yang sama[1].
Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah seratus ribu juga.
B.     HUKUM HUTANG PIUTANG:
Hukum Hutang piutang pada asalnya DIPERBOLEHKAN dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang DISUKAI dan DIANJURKAN, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah surat Al-Baqarah : 245
Nabi juga bersabda[2]:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً
Artinya :“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (HR. Ibnu Majah)
Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma’ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).
C.    RUKUN HUTANG PIUTANG[3]
1.      Lafaz (kalimat mengutangi), seperti: “ Saya utangkan ini kepada engkau.” Jawab yang berutang, “Saya mengaku berutang kepada engkau.”
2.      Yang berpiutang dan yang berutang.
3.      Barang yang diutangkan. Tiap-tiap barang yang dapat dihitung, boleh diutangkan. Begitu pula mengutangkan hewan, maka dibayar dengan jenis hewan yang sama.
D.    BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:[4]
1. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.
Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi.
2. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntu           ngan atau manfaat dari orang yang berhutang.
Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah.
 3. Melunasi hutang dengan cara yang baik
Termasuk cara yang baik dalam melunasi hutang adalah melunasinya tepat pada waktu pelunasan yang telah ditentukan dan disepakati oleh kedua belah pihak (pemberi dan penerima hutang), melunasi hutang di rumah atau tempat tinggal pemberi hutang, dan semisalnya.
4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut.
5. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak.
Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya. Tidak sepantasnya berhutang untuk membeli rumah baru, kendaraan, laptop model terbaru, atau sejenisnya dengan maksud berbangga-banggaan atau menjaga kegengsian dalam gaya hidup. Padahal dia sudah punya harta atau penghasilan yang mencukupi kebutuhan pokoknya.
 6. Bersegera melunasi hutang
Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim.
7.Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.
Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.
1.                  Jelaskan apa pengertian hutang piutang ? (skor 25)
2.                  Bagaimnana hukumnya hutang piutang dalam islam? (skor 25)
3.                  Sebutkan rukun hutang piutang? (skor 25)
4.                  Jelaskan adab dalam hutang piutang? (skor 25)

1.         Jelaskan apa pengertian hutang piutang ? (skor 25)
2.         Bagaimnana hukumnya hutang piutang dalam islam? (skor 25)
3.         Sebutkan rukun hutang piutang? (skor 25)
4.         Jelaskan adab dalam hutang piutang? (skor 25)

1.         Jelaskan apa pengertian hutang piutang ? (skor 25)
2.         Bagaimnana hukumnya hutang piutang dalam islam? (skor 25)
3.         Sebutkan rukun hutang piutang? (skor 25)
4.         Jelaskan adab dalam hutang piutang? (skor 25)

1.         Jelaskan apa pengertian hutang piutang ? (skor 25)
2.         Bagaimnana hukumnya hutang piutang dalam islam? (skor 25)
3.         Sebutkan rukun hutang piutang? (skor 25)
4.         Jelaskan adab dalam hutang piutang? (skor 25)

1.         Jelaskan apa pengertian hutang piutang ? (skor 25)
2.         Bagaimnana hukumnya hutang piutang dalam islam? (skor 25)
3.         Sebutkan rukun hutang piutang? (skor 25)
4.         Jelaskan adab dalam hutang piutang? (skor 25)



[1] H. E Hassan Saleh, Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 389.
[2] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), hal. 307.
[3] Ibid, hal. 307